Senin, 03 April 2017

Memaknai Keperwiraan seorang Hamzah bin Abdul Mutholib


Jabal Uhud, 11 Maret 2017

Ziarah ke Bukit Uhud, tempat terjadinya Perang Uhud yang mengantarkan Hamzah bin Abdul Mutholib dan Mush'ab bin Umair menjadi syuhada. Kali ini rasanya beda, karena Hamzah sudah tujuh tahun. Ingin rasanya membawa dia ke bukit Uhud yang menjadi saksi tubuh seorang Hamzah bin Abdul Muthalib ibarat medan perang. Yang menjadi saksi bagaimana jasadnya dikoyak, dan hatinya diambil Wahsyi untuk diberikan pada wanita quraisy, Hindun istri Abu Sufyan. Sungguh pun Wahsyi kemudian masuk Islam, tapi Rasulullah tak sanggup melihat wajah laki-laki yang menyebabkan kematian sang paman kesayangan. 

Masjid Hamzah yang berdiri di Bukit Uhud

Kerap kali kusampaikan pada Hamzah, anakku, tentang persaudaraan yang kuat antara Rasulullah dengan pamannya ini. Hamzah bin Abdul Mutholib adalah juga saudara sepersusuan Rasulullah. Dialah yang tak segan membela Rasulullah, ketika mendapat kabar keponakannya itu dianiaya kaum Quraisy, padahal saat itu Hamzah belumlah bersyahadat. Demikian besar cinta sang paman pada keponakan yang juga saudara sepersusuan. Demikianlah bersaudara Nak, saling menjaga saling melindungi dan saling menutupi aib. Maka Rasulullah pun menyebut Hamzah sebagai pemimpinnya para Syuhada di hari akhir nanti.


Bukit Uhud ini pun menjadi saksi tentang pelajaran penting akan ketaatan pada pemimpin yang beriman dan taat pada Allah adalah keharusan. Bukit ini pun menjadi saksi tentang pentingnya keluasan ilmu pengetahuan guna membela agama Allah.

Hamzah, kunamai engkau demikian bukanlah tanpa sebab. Namun kuharapkan perjalanan hidup seorang Hamzah bin Abdul Mutholib dapat menginspirasi hidupmu. Dapat menjadi qudwah sebagaimana kau mencontoh perilaku RasulNya...

Nak, berjuanglah... berkorbanlah.... bersungguh-sungguhlah menjadi pejuang dan pembela di jalanNya... sebagaimana yang ditunjukkan seorang paman untuk keponakannya, Hamzah bin Abdul Mutholib kepada Muhammad bin Abdullah.