Minggu, 29 Desember 2013

di Tepian nan Indah.... Tapanuli



Sampai lagi ke tepian yang indah itu. Tapanuli.....
Ini benar-benar anugerah Allah tak terhingga untuk bangsa Indonesia.

Papa... betapa aku bersyukur dilahirkan sebagai anakmu.... Laki-laki dengan darah Tapanuli di tubuhnya. Papa... dalam setiap sudut alam ini, hentakan ayat-ayatNya menggema dimana-mana. Mengingatkan keagungan kuasaNya. Mengingatkan kesyahduan cintaNya.

Tapi lebih dari itu Pa....
semuanya mengingatkanku, padamu....
Yang mengajarkanku arti mencinta negeri ini
Yang membimbingku mewujudkan rasa cinta ini dengan berbuat sebanyak kumampu

Tepian nan indah... Tapian Nauli
Nama yang kau sematkan padaku... yang juga demikian dekat dengan namamu Pa...

Semoga indah penantianmu di alam kubur
Semoga damai dalam dekapan cinta Rabbmu di sana Pa....


Kamis, 07 November 2013

3 tahun berlalu: Kau Memang Tidak Pernah Pergi



 Malam ini mengenangmu yang pergi tiga tahun lalu. Rasa cinta yang hadir semakin kuat justru pada ketiadaanmu. Seorang sahabat yang juga sejak lama menjadi saudaraku berkata, “selama orang itu di hati kita, maka sesungguhnya dia tidak pernah pergi”. 

Kau memang tidak pernah pergi Pa…
Selalu ada dalam hati, pikiran dan bayanganku.
Pada langkah yang kutapaki yang kian hari kian panjang, selalu menampar nurani.

Sudah kukatakan bahwa memaknai negeri ini lebih mudah dengan ada dirimu.
Mengeja lembar demi lembar kehidupan ini memang jauh lebih indah bersamamu

Kau yang mengajari kami untuk tangguh dan kuat
Karenanya kau pun tidak mengenal kata menyerah hingga saat terakhir waktumu
Masih tergambar jelas siang itu, saat kau hendak pergi. Dengan sisa usaha yang ada kau masih berusaha. Berkata, menulis, memeluk, dan bahkan bicara lewat matamu.
Semuanya bicara cinta Pa…

Engkau demikian mencintai anak-anakmu
Engkau pun sangat mencintai istrimu
Engkau memang mencintai keluargamu

Pelukanmu pada Mama
Pelukanmu pada anak-anakmu
Sore itu menjadi yang terakhir kalinya

Dengan cinta kami antarkan kau pulang Pa
Dengan cinta pun kami damping kau menyebut asmaNya
Dengan cinta kami ikhlaskan kau pergi

Kami tidak kehilanganmu
Karena kita akan bertemu lagi ya Pa….
Insya Allah, dengan rahmatNya yang membentang, kita bertemu lagi di surgaNya
Semoga Allah lapangkan kuburmu
Semoga Allah maafkan kesalahanmu
Semoga Allah ampuni segala dosamu
Kami mencintaimu
Selalu mencintaimu

Cisarua,7 Desember 2013
mengenangmu yang pergi sore itu, tiga tahun lalu

Senin, 07 Oktober 2013

Lebih Mudah Bersamamu, Pa

Dzulhijjah telah tiba...
kembali terkenang saat bulan mulia ini datang tiga tahun lalu.
Ayahku, berpulang

















Kini,
aku disini.... dalam langkah panjang yang kumulai saat ketiadaan papa. Menapaki perjuangan yang baru, melepas baju-baju lama, dan terbang pada dunia yang bisa jadi baru. Meski, seorang sahabat sejatiku berkata, inilah duniamu sesungguhnya!

Kini,
dalam ribuan kilometer jarak dari rumah. Aku menapaki hari. Melebarkan bentangan sayap. Mencari arti sebuah kebanggaan berbangsa. Sesuatu yang berulang kali dilekatkan papa dalam bicara-bicara panjangnya. Entah dalam nada sahabat, sebagai ayah, ataupun sebagai lawan berdebat.

Kini,
dalam ruang-ruang yang jauh, selalu kutemui wajah papa. Menatapku.
selalu kudengar suara papa. Berbicara padaku
selalu kurasakan keberadaan papa. Mendekapku erat.

Dalam kacau balau republik beberapa hari terakhir,
Dalam rentang langkah yang sangat jauh dari rumah
Masih di bumi ini,
Masih di Indonesiaku....
Kusadari.... mengeja rasa kebangsaan ini lebih mudah saat engkau masih ada, Pa...

Robbanaghfirlanaa waali waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaani shoghiiro....

Makassar, 7 Oktober 2013


Jumat, 31 Mei 2013

Bunga Bondar : Saat Wajah ini Demikian Akrab

Tak ada yang meragukan bahwa aku adalah cucu Opung Dokter Diapari, saat kudatangi kampung Bunga Bondar, Sipirok, Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Raut wajah ini rupanya mudah dikenali karena mirip dengan beberapa kerabat Opung. Mirip dengan salah satu adik Opung, bahkan dinilai mirip pula dengan ibunda Opung, Hanafiah Hoetasoehoet rahimahullah.

Ya di kampung inilah, wajahku dikenali. Tak dianggap aneh dan berbeda... :) Di kampung ini pula, kutemui banyak perempuan yang mengakrabi aku karena aku cucu dari seorang laki-laki yang dibanggakan kampung itu, Dokter Diapari. Bagaimana bisa menepis rasa haru yang datang saat itu. Aku harus datang lagi ke Bunga Bondar. Inilah kampung halamanku. Inilah kampung yang Papa sering bicarakan dulu. Di kaki gunung, di lembah padi yang menguning.

Jujurly, gak bisa tahan tangis saat berziarah di makam kakeknya Opung. Semoga Allah merahmati kakek dan nenek moyang kami, dan melapangkan kuburnya.  Bagaimanapun juga, setelah mati seorang anak adam, terputus segala amalnya, kecuali tiga hal. Amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak-anak yang shalih. Saat ini, doalah yang menjadi tumpuan para orang tua, kakek nenek dan leluhur yang sudah wafat untuk menambahkan timbangan amal mereka. Bahkan dalam hadits dikisahkan, seorang mayit di alam kuburnya bertanya-tanya saat Allah memberikan kebaikan padanya, "ada apa ini...?" dan jawabannya adalah, "Anakmu, memohonkan ampun bagimu..."

Begitulah Allah demikian baik....
karena memberikan aku kesempatan untuk sampai di kampung keluarga, di Bunga Bondar sana. Jarak 12 jam dari Medan, insya Allah cukup berharga ditukar dengan kebahagiaan bertemu dan berkumpul dengan sanak saudara di sana.

Oh ya...
satu pesan penting saat aku menjumpai Opung Bajora, sepupu Opung yang tinggal di Sidempuan. "Nama baik harus dijaga sekuat tenaga. Uang hilang bisa dicari lagi, tapi nama baik yang rusak tidak bisa dikembalikan lagi"
Demikian penting Opung memesankan hal tersebut, pada kedatanganku di Sidempuan. Sementara saat aku googling soal Opung, ternyata beliau adalah pahlawan kesehatan dan pahlawan pendidikan di Padang Sidempuan.
Semoga Allah berikan Opung panjang umur, kesehatan dan juga rezki yang halal. Sehingga banyak orang yang bisa mendapatkan teladan yang baik darinya.







Rabu, 29 Mei 2013

Kembali ke Kampung Bunga Bondar-Sipirok-Padang Sidempuan

 

Berjuta kata syukur atas nikmat yang Allah berikan, sehingga aku bisa sampai di tanah leluhur keluarga Papa. Dulu, di tahun 2001, aku ingat Papa ingin pulang bersama ke kampung, usai acara pernikahan Bung Pam di Aceh. Tapi apa daya, rencana tinggallah rencana. Niat pulang kampung bersama tak tercapai.

Papa sudah sempat ajak Bung Fiki dan Bung Iwan ke Tarutung yang berjarak kurang lima jam dari Sipirok. Tapi tak sempat untuk singgah di kampung.

Akhirnya, 27 Mei lalu, sampailah aku di Bunga Bondar. Kampung yang sering Papa ceritakan di masa kecilku. Aku sampai di sana, tanpa ada Papa di sampingku. Karena Papa telah berpulang dua tahun lalu.

Bunga Bondar, kampung kecil di kecamatan Sipirok, kabupaten Padang Sidempuan, berada di bawah gunung berapi Sibual-buali. Jadi inget lagu batak yang sering papa nyanyikan.
Berjarak 5 jam dari Parapat Danau Toba, tempat aku berangkat dengan kendaraan L300, usai memisahkan diri dari rombongan kantor yang hendak kembali ke Medan.


Bertemu dengan nenek utur, istri dari Opung Hasa adik bungsu Opung Djafar Diapari. Di Bunga Bondar lah keluarga Diapari bermula. Kujumpai pula makam Toungku Sutan Diapari, kakek dari dokter Diapari. Serta makam orang tua Opung.

Menyimak kisah nenek Utur bercerita tentang orang-orang tua kami.... rasanya tak salah kalau ada dari cucu-cucu Opung yang tekun menjadi penda'wah, mubaligh, dan guru agama. Karena Khalifah Salih pun, orang tua Opung, yang sebenarnya bernama Abdullah Sati dan mendapatkan gelar H Muhammad Saleh Siregar, dikenal sebagai seorang Syeikh yang paham masalah agama.

Benar kata pepatah, air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.
Meski yang namanya iman itu memang tak pernah bisa diwarisi dari ayah atau kakek ke anak dan cucunya.

Bunga Bondar kampung yang islami. Anak-anak sekolah mengenakan baju muslim dan muslimah, tak lupa jilbab untuk anak-anak perempuan. Kaum ibunya pun terbiasa menutup kepala mereka dengan kerudung atau jilbab kaos yang lebih praktis untuk masa sekarang.


Saat ku berkeliling kampung ditemani Bou Ranti yang usianya hanya beda dua tahun denganku, beberapa warga menyapa dan bertanya pada Bou Ranti, siapa yang ikut bersamanya. Bou Ranti menjelaskan bahwa aku adalah anak dari Bung Nuli, cucu dari dokter Diapari. Mereka pun mengakrabi aku. ikut berfoto bersama. Mama bilang, itu karena Opung Djafar semasa hidup selalu banyak memberi kebaikan bagi kampung halamannya.

Ah Opung, aku tak sempat berjumpa denganmu.
Tapi di hampir 40 tahun kau berpulang, orang-orang kampung itu masih mengingatmu dan mengenang kebaikanmu, Opung. Begitulah sebuah amal shalih yang ditunaikan dengan penuh keikhlasan, membekas dan memanjangkan usia, sekalipun sang pelaku sudah menutup mata.

28 Mei aku mengunjungi Opung Bajora di Sidempuan.
Meskipun disebut Opung, karena beliau adalah sepupu dari Opung Djafar, Opung Bajora berusia sama dengan almarhum Papa.

Ketika bercerita bahwa aku adalah cucu Opung Djafar, beliau bercerita tentang keakrabannya dengan Papa dan alm Uwak Djon. Kemudian dia bertanya, "Apa kabarnya Nuli, sehat-sehat dia..??"

"Opung, Papa sudah meninggal dua tahun lalu..."
"Haaah...???!!! Kok tak ada yang kasih kabar..??"

Opung kaget
pastilah merasa kehilangan teman sepermainannya dulu.

Kemudian kutunjukan pada Opung, foto Papa bersama Adil saat di rumah sakit...
"Ah, kau mirip sekali dengan Papamu...."

Betapa ingin kupeluk Opung Bajora....


Selasa, 15 Januari 2013

Lewati Bukit dan Lembah di Ranah Minang

kali ke dua di ranah minang. Kali ini kakiku terjejak ke tempat yang lebih jauh. Bukan sekedar kota Padang. Tapi mobil melaju melewati pariaman, kayu tanam, tanah datar, agam, hingga sampai ke Bukit Tinggi.
Sebentar saja di sana, kami sudah melaju lagi melongok Danau Maninjau di kelok 44.

Perjalanan menuju Bukit Tinggi sungguh indah. Melewati bukit, ngarai, dan lembah yang hijau. Ada pula air terjun di pinggir jalan yang menyejukkan.

entah kenapa terngiang di kupingku, bait lagu... "mangalu lui ngolu ngolu... na boi parbodarian... asal masahat na geleng ki da, sai sahat tu tujuan. Anakhonki do hamoraon di ahu..."

Lagu papa

melewati bukit dan lembah kulalui, asal anakku mencapai tujuannya... anakkulah kebanggaanku...

Ya...
kali ini aku melewati bukit dan lembah
turun lagi ke danau
lewati jalan yang berkelok-kelok

terkenang engkau pa...
ribuan langkah yang kau jalani
demi anak-anakmu
demi keluargamu

Semoga Bahagia kau di sisiNya....

Sabtu, 12 Januari 2013

Sindang Barang: persinggahan yang dibangun dengan rasa bangga

Tahun yang baru sudah datang. Kami melewati hari pertama 2013 dengan berkumpul di rumahku. Ehhmm... gak bener2 kumpul di rumah sebenarnya, tapi cucu-cucu papa nginep di rumah. Trus tanggal 1 pagi ke rumah ummi arfah di klender. Abis itu balik lagi ke kalasan, trus Bung Pam dan bunda-bunda datang.

Menemani anak-anak melewati liburan mereka. Mungkin bukan liburan mahal.... tapi ingin jadikan itu sebagai sarana mereka bersenang-senang.

Sebelumnya kami nginap di sindang barang. Berbagai adegan terjadi... mancing ikan, mandi lumpur, tangkap ikan dengan tangan, nyemplung kolam, panjat pohon... berlari di sawah...

Biarlah anak-anak mengenal alam bebas...
Biarlah anak-anak mencintai rumah Opungnya....
Yang dibangun dengan batu bata kebanggaan.
Dan keringat harga diri

Opung....
Damailah dalam naungan Allah....
Kita bertemu lagi di surga ya.. Insya Allah, atas berkah dan kasih sayangNya pula...


istri-anak-menanti-cucu yang selalu merindukanmu..