Ya di kampung inilah, wajahku dikenali. Tak dianggap aneh dan berbeda... :) Di kampung ini pula, kutemui banyak perempuan yang mengakrabi aku karena aku cucu dari seorang laki-laki yang dibanggakan kampung itu, Dokter Diapari. Bagaimana bisa menepis rasa haru yang datang saat itu. Aku harus datang lagi ke Bunga Bondar. Inilah kampung halamanku. Inilah kampung yang Papa sering bicarakan dulu. Di kaki gunung, di lembah padi yang menguning.
Jujurly, gak bisa tahan tangis saat berziarah di makam kakeknya Opung. Semoga Allah merahmati kakek dan nenek moyang kami, dan melapangkan kuburnya. Bagaimanapun juga, setelah mati seorang anak adam, terputus segala amalnya, kecuali tiga hal. Amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak-anak yang shalih. Saat ini, doalah yang menjadi tumpuan para orang tua, kakek nenek dan leluhur yang sudah wafat untuk menambahkan timbangan amal mereka. Bahkan dalam hadits dikisahkan, seorang mayit di alam kuburnya bertanya-tanya saat Allah memberikan kebaikan padanya, "ada apa ini...?" dan jawabannya adalah, "Anakmu, memohonkan ampun bagimu..."
Begitulah Allah demikian baik....
karena memberikan aku kesempatan untuk sampai di kampung keluarga, di Bunga Bondar sana. Jarak 12 jam dari Medan, insya Allah cukup berharga ditukar dengan kebahagiaan bertemu dan berkumpul dengan sanak saudara di sana.
Oh ya...
satu pesan penting saat aku menjumpai Opung Bajora, sepupu Opung yang tinggal di Sidempuan. "Nama baik harus dijaga sekuat tenaga. Uang hilang bisa dicari lagi, tapi nama baik yang rusak tidak bisa dikembalikan lagi"
Demikian penting Opung memesankan hal tersebut, pada kedatanganku di Sidempuan. Sementara saat aku googling soal Opung, ternyata beliau adalah pahlawan kesehatan dan pahlawan pendidikan di Padang Sidempuan.
Semoga Allah berikan Opung panjang umur, kesehatan dan juga rezki yang halal. Sehingga banyak orang yang bisa mendapatkan teladan yang baik darinya.