Minggu, 27 November 2016

Akulah Boru Panggoaran Papa



Ada lagu Batak berjudul Boru Panggoaran. Artinya anak sulung perempuanku.
Entah, maksudnya anak sulung yang perempuan atau anak perempuan yang pertama. Jadi masih memungkinkan ada anak-anak laki yang lebih duluan lahir. Ah sudahlah....

Tapi mencermati lagu Boru Panggoaran ini, sulit untuk gak inget Papa. Ah, iya sih... semua pasti teringat dengan Papa, kalo urusan perbatakan.

Dalam budaya Batak, sepertinya ada tanggung jawab besar disematkan pada diri anak perempuan ya. Gw ngerasa, dulu...abang-abang dibiarkan melesat pesat kemana saja mencari kemuliaan diri. Sementara gw, si anak perempuan... yang kebetulan satu-satunya pula, dari tujuh...iya tujuh....anak Papa, hidup dengan berjuta garis batas yang melingkupi.

Sejak dari kecil, gak ada kisahnya keluar malam-malam. Gak ada ceritanya, nginep di rumah sodara. Iya, nginep di rumah sodara aja gak boleh, apa lagi nginep di rumah temen. Kalaupun nginep2, ya... bareng orang tua. Kalau nginep ke keluarga Papa, ujung-ujungnya ya... nginep di Sindang Barang atau di rumah Nenek. Papa gak pernah lega, membiarkan gw anak perempuannya nginep sendirian di rumah orang lain, bahkan itu rumah adik-adiknya sendiri. Jujurly, keparno-an itu pun menurun pada gw... * du du du du du du du....

Uniknya, di tengah sejumlah aturan yang gak boleh ini gak boleh itu, Papa bukanlah ayah yang selalu mendampingi gw lho. Papa berikan tugas itu ke Mama... jadi kalo gw rada eror dikit, Emak lah yang ditegur Papa.

Dan ketika gw mau nikah, di hari-hari persiapan itu.... Papa mengulang-ulang lagu Anakhonki Do Hamoraon Di Ahu.... Entah kenapa, Papa meluk gw... menangis kencang, minta maaf. Minta maaf atas segala kelemahan Papa, yang menurutnya belum bisa maksimal menjaga merawat mendidik dan membesarkan gw. Jiyaaah.... Papa... bahkan saat gw merasa jadi anak seperti burung di dalam sangkar, Papa merasa belum cukup benar menurutnya, menjaga gw. Gak mungkin gw lupa tangisan Papa dan pelukan Papa saat itu.

Kemudian, di hari-hari terakhir Papa.... Saat Papa ke rumah sakit, akhirnya. Papa minta gw ikut temani ke RS Persahabatan. Pake bilang, Mama Tety (adiknya) suruh kau temani Papa...! Yaa, kan kalo Papa minta aku temani juga, aku ikut kok. Seperti ada rasa takutkah, Pa.... aku menjauhi Papa... gak mau temani waktu sakit Papa...?

Nggak lah...
aku temani Papa kok. Meski lebih banyak Mama yang jaga. Karena aku ada Hamzah yang masih belum setahun kan waktu itu.

Akhirnya, memang anak perempuan itu adalah tempat orang tua mencurahkan perasaannya di hari tua.
Molo matua sogot au
Ho na manarihon ahu
Molo matinggang ahu inang
Ho do na manogu-nogu ahu

kaulah anak perempuan ku, harapan hatiku. 
Jika nanti aku tua dan lemah,
 kaulah yang akan menguatkan dan meneguhkan aku.

Akhirnya, jadilah teringat saat-saat terakhir kebersamaan kita malam itu ya Pa. Usai muntah berwarna hitam itu, aku tawarkan Papa untuk tiduran atau duduk bersandarkan badanku. Papa pilih duduk bersadarkan aku. Aku teringat saat itu.... saat semua kusampaikan. Bahwa aku ridho menjadi anak Papa.... Bahwa aku ridho dengan ketetapan takdir dari Allah, yang menjadikan aku anak perempuan Papa. Bahwa aku mencintai Papa... Bahwa aku menyayangi Papa... selamanya. 


Allahummaghfirlahum warhamhum wa'afihim wa'fu anhum.
Bagaimana kabar Papa di sana...? Semoga kuburnya bagaikan taman-taman surga, tempat menanti hari dibangkitkan dan hari perhitungan, sebelum kita semua kembali diperjumpakan di surgaNya yang abadi... Amiin ya Allah

Senin, 28 November 2016
23 tahun sehari setelah Jidba wafat
17 tahun kurang dua hari setelah Mama Yayuk Wafat
6 tahun 21 hari setelah Papa berpulang, dan kita berpisah.


Tahukah Pa.... bahkan sampai hari ini, mengenang perpisahan denganmu itu sangat menyakitkan ...

Senin, 06 Juni 2016

Mengingatmu.... Merindumu... di Papua




Menapaki Jaziratul Uryan, Papua.
Sebuah titik besar di muka bumi yang dirahmati Allah dengan kelimpahan kekayaan bumi, kecantikan alamnya. Allahu Akbar, sampai aku di tanah ini.

Pada tepian danau Sentani nan perkasa itu, ingatan pun sampai padamu, ayahku tercinta.
Engkau yang menanamkan rasa cinta pada negeri ini . Yang membentang dari Sabang hingga Merauke.

Memaklumi keterbatasan Papa dalam membawa anak istrinya ke berbagai belahan dunia. Namun dengan segala didikan yang diberikan, sampailah anak-anaknya ke berbagai tanah yang Allah berkahi. Di sana... di setiap sudut itu... selalu hadir wajah Papa...

Papa sayang,
semoga Allah ampuni segala kesalahan Papa...
semoga Allah melapangkan kubur Papa
semoga Allah tinggikan derajat Papa di alam penantian....

Papa sayang.....
aku kangen...

Allahummaghfirlahum warhamhum wa'afihim wa'fu anhum....