Berjuta kata syukur atas nikmat yang Allah berikan, sehingga aku bisa sampai di tanah leluhur keluarga Papa. Dulu, di tahun 2001, aku ingat Papa ingin pulang bersama ke kampung, usai acara pernikahan Bung Pam di Aceh. Tapi apa daya, rencana tinggallah rencana. Niat pulang kampung bersama tak tercapai.
Papa sudah sempat ajak Bung Fiki dan Bung Iwan ke Tarutung yang berjarak kurang lima jam dari Sipirok. Tapi tak sempat untuk singgah di kampung.
Akhirnya, 27 Mei lalu, sampailah aku di Bunga Bondar. Kampung yang sering Papa ceritakan di masa kecilku. Aku sampai di sana, tanpa ada Papa di sampingku. Karena Papa telah berpulang dua tahun lalu.
Bunga Bondar, kampung kecil di kecamatan Sipirok, kabupaten Padang Sidempuan, berada di bawah gunung berapi Sibual-buali. Jadi inget lagu batak yang sering papa nyanyikan.
Berjarak 5 jam dari Parapat Danau Toba, tempat aku berangkat dengan kendaraan L300, usai memisahkan diri dari rombongan kantor yang hendak kembali ke Medan.

Bertemu dengan nenek utur, istri dari Opung Hasa adik bungsu Opung Djafar Diapari. Di Bunga Bondar lah keluarga Diapari bermula. Kujumpai pula makam Toungku Sutan Diapari, kakek dari dokter Diapari. Serta makam orang tua Opung.
Menyimak kisah nenek Utur bercerita tentang orang-orang tua kami.... rasanya tak salah kalau ada dari cucu-cucu Opung yang tekun menjadi penda'wah, mubaligh, dan guru agama. Karena Khalifah Salih pun, orang tua Opung, yang sebenarnya bernama Abdullah Sati dan mendapatkan gelar H Muhammad Saleh Siregar, dikenal sebagai seorang Syeikh yang paham masalah agama.
Benar kata pepatah, air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.
Meski yang namanya iman itu memang tak pernah bisa diwarisi dari ayah atau kakek ke anak dan cucunya.
Bunga Bondar kampung yang islami. Anak-anak sekolah mengenakan baju muslim dan muslimah, tak lupa jilbab untuk anak-anak perempuan. Kaum ibunya pun terbiasa menutup kepala mereka dengan kerudung atau jilbab kaos yang lebih praktis untuk masa sekarang.
Saat ku berkeliling kampung ditemani Bou Ranti yang usianya hanya beda dua tahun denganku, beberapa warga menyapa dan bertanya pada Bou Ranti, siapa yang ikut bersamanya. Bou Ranti menjelaskan bahwa aku adalah anak dari Bung Nuli, cucu dari dokter Diapari. Mereka pun mengakrabi aku. ikut berfoto bersama. Mama bilang, itu karena Opung Djafar semasa hidup selalu banyak memberi kebaikan bagi kampung halamannya.
Ah Opung, aku tak sempat berjumpa denganmu.
Tapi di hampir 40 tahun kau berpulang, orang-orang kampung itu masih mengingatmu dan mengenang kebaikanmu, Opung. Begitulah sebuah amal shalih yang ditunaikan dengan penuh keikhlasan, membekas dan memanjangkan usia, sekalipun sang pelaku sudah menutup mata.
28 Mei aku mengunjungi Opung Bajora di Sidempuan.
Meskipun disebut Opung, karena beliau adalah sepupu dari Opung Djafar, Opung Bajora berusia sama dengan almarhum Papa.
Ketika bercerita bahwa aku adalah cucu Opung Djafar, beliau bercerita tentang keakrabannya dengan Papa dan alm Uwak Djon. Kemudian dia bertanya, "Apa kabarnya Nuli, sehat-sehat dia..??"
"Opung, Papa sudah meninggal dua tahun lalu..."
"Haaah...???!!! Kok tak ada yang kasih kabar..??"
Opung kaget
pastilah merasa kehilangan teman sepermainannya dulu.
Kemudian kutunjukan pada Opung, foto Papa bersama Adil saat di rumah sakit...
"Ah, kau mirip sekali dengan Papamu...."
Betapa ingin kupeluk Opung Bajora....