Selasa, 11 Oktober 2022

Bersiap Melihatnya Mengepakkan Sayap

Hari ini kulihat dan kubaca hasil perjuangan Muhammad selama sekolah di Pesantren Al Irsyad. Pendaftaran untuk masuk kuliah di Universitas Islam Madinah sudah dibuka. Muhammad akan daftar. 

Ada rasa haru membaca nilai-nilai ijazah dan sertifikat hafalan Al Quran yang dimiliki Muhammad. Allah memang menganugerahkan dia kemudahan dalam menghafal Al Quran. Semoga dimudahkan keinginannya menjadi mahasiswa di Madinah. 

Masih teringat ketika Muhammad kecil yang kerap kali berpindah tempat. Antara tidur di rumah Jiddah atau pulang ke Depok bersama Ayah dan Bunda. Masa kanak-kanaknya lebih banyak di rumah Jl Talang. Menikmati pelukan hangat dari Opung dan Jiddah. Ikut pergi ke berbagai pertemuan yang dihadiri Jiddah dan Opung juga. Kadang Muhammad kecil pun ikut diangkut Amah Nona saat di rumah gak ada yang bisa dititip untuk menjaga. 

Waktu berlalu hingga akhirnya hadir Om Upi di rumah Jl Talang. Rasanya seperti anak sendiri, membersamai Muhammad yang masih berusia tiga tahun. Kebersamaan itu terhenti ketika hadir Adilia bersama kami. Padahal, tak sedikit pun rasa kerepotan jika Muhammad tetap ada di Jl Talang. 

Jiddah dan Opung juga melimpahkan kasih sayang tak terhingga untuknya. Amah, punya cara sendiri menyayangi Muhammad. Termasuk ngegalakin Muhammad dengan tegas tatkala hendak main PS di televisi rumah. 

Opung memang tak sempat melihat Abang Muhammad tuntas menghafal Quran. Tapi rasanya Amah ingat betul, doa Opung selalu terucap agar Muhammad menjadi penghafal Quran. Kini doa Opung sudah mewujud. Insyaa Allah harapan Muhammad untuk terus belajar ilmu Al Quran pun akan terwujud. Semua mendoakan Abang Muhammad. Jiddah, Ayah, Bunda, Amah Nona, Om Upi, Ami Aji, dan adik-adik semua. 

Waktu terasa berlari dengan cepat. Mendapati Abang sudah berusia 20 tahun sekarang. Bukan lagi Muhammad yang tak mau lepas dari Amahnya. Bukan lagi Muhammad yang bobo di antara Amah Nona dan Om Upi. Sekarang Muhammad menjelma sebagai pemuda dengan beban membangun peradaban masa depan dengan lebih baik. 

Semoga kebaikan Muhammad, kebaikan adik-adik yang juga cucu-cucu Opung, menjadi tabungan pahala buat Opung yang sudah lebih dahulu berpulang. Semoga Jid Dun juga kebagian pahalanya ya Bang... 

Amah dan Om Upi akan membantu sekuat tenaga, agar cita-cita Abang sekolah lagi di Madinah dapat terwujud. Jangan lupa ya Bang, untuk tetap tawadhu dan menghormati Ayah Bunda.... 
 


Kamis, 27 Mei 2021

Aci' Idun, Paman Kesayangan Kami Berpulang



Adalah suatu siang yang sendu. Mentari Syawal saat itu tak terlampau garang. Mengiringi perjalanan kami ke Ciputat. Menjumpai jasad Paman kesayangan, Cik Dun tercinta. 

Sabtu, 15 Mei 2021, tepatnya di 3 Syawal 1442 H. Allah panggil pulang Aci' kesayangan kami. Saudara kandung satu-satunya Mama. Aci' yang selama ini ibarat guardian angel buat Mama. Tiada kisah persaudaraan yang lebih indah selain yang kulihat dari mereka berdua. Selepas Aba' dan Jiddah berpulang, Mama dan Aci' menunjukkan teladan bagaimana bersaudara seharusnya. 

Saling menanggung

Saling meringankan

Saling menjaga 

Saling menutupi kekurangan

Ketika Papa wafat 10 tahun lalu, Mama memilih tinggal tak jauh dari Aci'. Mama memilih bertetangga tiga rumah dari rumah Aci'. Sedemikian erat persaudaraan itu terbangun. Apa yang Aba' dan Jiddah ajarkan pada keduanya, sehingga Mama dan Aci' demikian hangat hingga tua. 

Hingga maut memisahkan. 

Ya, kejadian Selasa siang itu adalah fragmen hingga maut memisahkan. Mama yang mendampingi Aci' di tengah sakarataul mautnya. Hingga akhirnya maut yang memisahkan, Mama yang di samping Aci' ketika Allah mengambil nyawanya dengan lembut. 

Adakah lagi teladan demikian indah digambarkan di hadapan kami? Bahwa bersaudara bukan sekedar karena dilahirkan dari rahmin ibu yang sama. Tapi juga sejiwa dalam pemikiran, dalam keimanan dan dalam ketaatan. 

Ya Allah, kami menjadi saksi atas keduanya selalu bertaawun dalam kebaikan dan taqwa padaMu. 

Aci' kesayangan kami sudah berpulang. Memeluk bumi dalam makam yang sama dengan Jiddah di TPU Karet Bivak. 27 tahun lalu, Aci' yang kebumikan Jiddah. Kini makam itu digali lagi, untuk menitipkan jasad laki-laki tangguh teladan keluarga. H. Abdul Rasyid bin H. M Junus. 

Aku tak tahu kepedihan macam apa yang dirasa oleh Mama. Tapi kutahu, dalam kematangan usianya, Mama mengikhlaskan adik tercinta berpulang. 

Semoga kami, anak-anak Mama, berkesempatan membahagiakannya sepanjang usia kami. 




Senin, 03 April 2017

Memaknai Keperwiraan seorang Hamzah bin Abdul Mutholib


Jabal Uhud, 11 Maret 2017

Ziarah ke Bukit Uhud, tempat terjadinya Perang Uhud yang mengantarkan Hamzah bin Abdul Mutholib dan Mush'ab bin Umair menjadi syuhada. Kali ini rasanya beda, karena Hamzah sudah tujuh tahun. Ingin rasanya membawa dia ke bukit Uhud yang menjadi saksi tubuh seorang Hamzah bin Abdul Muthalib ibarat medan perang. Yang menjadi saksi bagaimana jasadnya dikoyak, dan hatinya diambil Wahsyi untuk diberikan pada wanita quraisy, Hindun istri Abu Sufyan. Sungguh pun Wahsyi kemudian masuk Islam, tapi Rasulullah tak sanggup melihat wajah laki-laki yang menyebabkan kematian sang paman kesayangan. 

Masjid Hamzah yang berdiri di Bukit Uhud

Kerap kali kusampaikan pada Hamzah, anakku, tentang persaudaraan yang kuat antara Rasulullah dengan pamannya ini. Hamzah bin Abdul Mutholib adalah juga saudara sepersusuan Rasulullah. Dialah yang tak segan membela Rasulullah, ketika mendapat kabar keponakannya itu dianiaya kaum Quraisy, padahal saat itu Hamzah belumlah bersyahadat. Demikian besar cinta sang paman pada keponakan yang juga saudara sepersusuan. Demikianlah bersaudara Nak, saling menjaga saling melindungi dan saling menutupi aib. Maka Rasulullah pun menyebut Hamzah sebagai pemimpinnya para Syuhada di hari akhir nanti.


Bukit Uhud ini pun menjadi saksi tentang pelajaran penting akan ketaatan pada pemimpin yang beriman dan taat pada Allah adalah keharusan. Bukit ini pun menjadi saksi tentang pentingnya keluasan ilmu pengetahuan guna membela agama Allah.

Hamzah, kunamai engkau demikian bukanlah tanpa sebab. Namun kuharapkan perjalanan hidup seorang Hamzah bin Abdul Mutholib dapat menginspirasi hidupmu. Dapat menjadi qudwah sebagaimana kau mencontoh perilaku RasulNya...

Nak, berjuanglah... berkorbanlah.... bersungguh-sungguhlah menjadi pejuang dan pembela di jalanNya... sebagaimana yang ditunjukkan seorang paman untuk keponakannya, Hamzah bin Abdul Mutholib kepada Muhammad bin Abdullah.




Minggu, 27 November 2016

Akulah Boru Panggoaran Papa



Ada lagu Batak berjudul Boru Panggoaran. Artinya anak sulung perempuanku.
Entah, maksudnya anak sulung yang perempuan atau anak perempuan yang pertama. Jadi masih memungkinkan ada anak-anak laki yang lebih duluan lahir. Ah sudahlah....

Tapi mencermati lagu Boru Panggoaran ini, sulit untuk gak inget Papa. Ah, iya sih... semua pasti teringat dengan Papa, kalo urusan perbatakan.

Dalam budaya Batak, sepertinya ada tanggung jawab besar disematkan pada diri anak perempuan ya. Gw ngerasa, dulu...abang-abang dibiarkan melesat pesat kemana saja mencari kemuliaan diri. Sementara gw, si anak perempuan... yang kebetulan satu-satunya pula, dari tujuh...iya tujuh....anak Papa, hidup dengan berjuta garis batas yang melingkupi.

Sejak dari kecil, gak ada kisahnya keluar malam-malam. Gak ada ceritanya, nginep di rumah sodara. Iya, nginep di rumah sodara aja gak boleh, apa lagi nginep di rumah temen. Kalaupun nginep2, ya... bareng orang tua. Kalau nginep ke keluarga Papa, ujung-ujungnya ya... nginep di Sindang Barang atau di rumah Nenek. Papa gak pernah lega, membiarkan gw anak perempuannya nginep sendirian di rumah orang lain, bahkan itu rumah adik-adiknya sendiri. Jujurly, keparno-an itu pun menurun pada gw... * du du du du du du du....

Uniknya, di tengah sejumlah aturan yang gak boleh ini gak boleh itu, Papa bukanlah ayah yang selalu mendampingi gw lho. Papa berikan tugas itu ke Mama... jadi kalo gw rada eror dikit, Emak lah yang ditegur Papa.

Dan ketika gw mau nikah, di hari-hari persiapan itu.... Papa mengulang-ulang lagu Anakhonki Do Hamoraon Di Ahu.... Entah kenapa, Papa meluk gw... menangis kencang, minta maaf. Minta maaf atas segala kelemahan Papa, yang menurutnya belum bisa maksimal menjaga merawat mendidik dan membesarkan gw. Jiyaaah.... Papa... bahkan saat gw merasa jadi anak seperti burung di dalam sangkar, Papa merasa belum cukup benar menurutnya, menjaga gw. Gak mungkin gw lupa tangisan Papa dan pelukan Papa saat itu.

Kemudian, di hari-hari terakhir Papa.... Saat Papa ke rumah sakit, akhirnya. Papa minta gw ikut temani ke RS Persahabatan. Pake bilang, Mama Tety (adiknya) suruh kau temani Papa...! Yaa, kan kalo Papa minta aku temani juga, aku ikut kok. Seperti ada rasa takutkah, Pa.... aku menjauhi Papa... gak mau temani waktu sakit Papa...?

Nggak lah...
aku temani Papa kok. Meski lebih banyak Mama yang jaga. Karena aku ada Hamzah yang masih belum setahun kan waktu itu.

Akhirnya, memang anak perempuan itu adalah tempat orang tua mencurahkan perasaannya di hari tua.
Molo matua sogot au
Ho na manarihon ahu
Molo matinggang ahu inang
Ho do na manogu-nogu ahu

kaulah anak perempuan ku, harapan hatiku. 
Jika nanti aku tua dan lemah,
 kaulah yang akan menguatkan dan meneguhkan aku.

Akhirnya, jadilah teringat saat-saat terakhir kebersamaan kita malam itu ya Pa. Usai muntah berwarna hitam itu, aku tawarkan Papa untuk tiduran atau duduk bersandarkan badanku. Papa pilih duduk bersadarkan aku. Aku teringat saat itu.... saat semua kusampaikan. Bahwa aku ridho menjadi anak Papa.... Bahwa aku ridho dengan ketetapan takdir dari Allah, yang menjadikan aku anak perempuan Papa. Bahwa aku mencintai Papa... Bahwa aku menyayangi Papa... selamanya. 


Allahummaghfirlahum warhamhum wa'afihim wa'fu anhum.
Bagaimana kabar Papa di sana...? Semoga kuburnya bagaikan taman-taman surga, tempat menanti hari dibangkitkan dan hari perhitungan, sebelum kita semua kembali diperjumpakan di surgaNya yang abadi... Amiin ya Allah

Senin, 28 November 2016
23 tahun sehari setelah Jidba wafat
17 tahun kurang dua hari setelah Mama Yayuk Wafat
6 tahun 21 hari setelah Papa berpulang, dan kita berpisah.


Tahukah Pa.... bahkan sampai hari ini, mengenang perpisahan denganmu itu sangat menyakitkan ...

Senin, 06 Juni 2016

Mengingatmu.... Merindumu... di Papua




Menapaki Jaziratul Uryan, Papua.
Sebuah titik besar di muka bumi yang dirahmati Allah dengan kelimpahan kekayaan bumi, kecantikan alamnya. Allahu Akbar, sampai aku di tanah ini.

Pada tepian danau Sentani nan perkasa itu, ingatan pun sampai padamu, ayahku tercinta.
Engkau yang menanamkan rasa cinta pada negeri ini . Yang membentang dari Sabang hingga Merauke.

Memaklumi keterbatasan Papa dalam membawa anak istrinya ke berbagai belahan dunia. Namun dengan segala didikan yang diberikan, sampailah anak-anaknya ke berbagai tanah yang Allah berkahi. Di sana... di setiap sudut itu... selalu hadir wajah Papa...

Papa sayang,
semoga Allah ampuni segala kesalahan Papa...
semoga Allah melapangkan kubur Papa
semoga Allah tinggikan derajat Papa di alam penantian....

Papa sayang.....
aku kangen...

Allahummaghfirlahum warhamhum wa'afihim wa'fu anhum....

Minggu, 29 Desember 2013

di Tepian nan Indah.... Tapanuli



Sampai lagi ke tepian yang indah itu. Tapanuli.....
Ini benar-benar anugerah Allah tak terhingga untuk bangsa Indonesia.

Papa... betapa aku bersyukur dilahirkan sebagai anakmu.... Laki-laki dengan darah Tapanuli di tubuhnya. Papa... dalam setiap sudut alam ini, hentakan ayat-ayatNya menggema dimana-mana. Mengingatkan keagungan kuasaNya. Mengingatkan kesyahduan cintaNya.

Tapi lebih dari itu Pa....
semuanya mengingatkanku, padamu....
Yang mengajarkanku arti mencinta negeri ini
Yang membimbingku mewujudkan rasa cinta ini dengan berbuat sebanyak kumampu

Tepian nan indah... Tapian Nauli
Nama yang kau sematkan padaku... yang juga demikian dekat dengan namamu Pa...

Semoga indah penantianmu di alam kubur
Semoga damai dalam dekapan cinta Rabbmu di sana Pa....


Kamis, 07 November 2013

3 tahun berlalu: Kau Memang Tidak Pernah Pergi



 Malam ini mengenangmu yang pergi tiga tahun lalu. Rasa cinta yang hadir semakin kuat justru pada ketiadaanmu. Seorang sahabat yang juga sejak lama menjadi saudaraku berkata, “selama orang itu di hati kita, maka sesungguhnya dia tidak pernah pergi”. 

Kau memang tidak pernah pergi Pa…
Selalu ada dalam hati, pikiran dan bayanganku.
Pada langkah yang kutapaki yang kian hari kian panjang, selalu menampar nurani.

Sudah kukatakan bahwa memaknai negeri ini lebih mudah dengan ada dirimu.
Mengeja lembar demi lembar kehidupan ini memang jauh lebih indah bersamamu

Kau yang mengajari kami untuk tangguh dan kuat
Karenanya kau pun tidak mengenal kata menyerah hingga saat terakhir waktumu
Masih tergambar jelas siang itu, saat kau hendak pergi. Dengan sisa usaha yang ada kau masih berusaha. Berkata, menulis, memeluk, dan bahkan bicara lewat matamu.
Semuanya bicara cinta Pa…

Engkau demikian mencintai anak-anakmu
Engkau pun sangat mencintai istrimu
Engkau memang mencintai keluargamu

Pelukanmu pada Mama
Pelukanmu pada anak-anakmu
Sore itu menjadi yang terakhir kalinya

Dengan cinta kami antarkan kau pulang Pa
Dengan cinta pun kami damping kau menyebut asmaNya
Dengan cinta kami ikhlaskan kau pergi

Kami tidak kehilanganmu
Karena kita akan bertemu lagi ya Pa….
Insya Allah, dengan rahmatNya yang membentang, kita bertemu lagi di surgaNya
Semoga Allah lapangkan kuburmu
Semoga Allah maafkan kesalahanmu
Semoga Allah ampuni segala dosamu
Kami mencintaimu
Selalu mencintaimu

Cisarua,7 Desember 2013
mengenangmu yang pergi sore itu, tiga tahun lalu