Im His Only One Daughter
Selasa, 11 Oktober 2022
Bersiap Melihatnya Mengepakkan Sayap
Kamis, 27 Mei 2021
Aci' Idun, Paman Kesayangan Kami Berpulang
Adalah suatu siang yang sendu. Mentari Syawal saat itu tak terlampau garang. Mengiringi perjalanan kami ke Ciputat. Menjumpai jasad Paman kesayangan, Cik Dun tercinta.
Sabtu, 15 Mei 2021, tepatnya di 3 Syawal 1442 H. Allah panggil pulang Aci' kesayangan kami. Saudara kandung satu-satunya Mama. Aci' yang selama ini ibarat guardian angel buat Mama. Tiada kisah persaudaraan yang lebih indah selain yang kulihat dari mereka berdua. Selepas Aba' dan Jiddah berpulang, Mama dan Aci' menunjukkan teladan bagaimana bersaudara seharusnya.
Saling menanggung
Saling meringankan
Saling menjaga
Saling menutupi kekurangan
Ketika Papa wafat 10 tahun lalu, Mama memilih tinggal tak jauh dari Aci'. Mama memilih bertetangga tiga rumah dari rumah Aci'. Sedemikian erat persaudaraan itu terbangun. Apa yang Aba' dan Jiddah ajarkan pada keduanya, sehingga Mama dan Aci' demikian hangat hingga tua.
Hingga maut memisahkan.
Ya, kejadian Selasa siang itu adalah fragmen hingga maut memisahkan. Mama yang mendampingi Aci' di tengah sakarataul mautnya. Hingga akhirnya maut yang memisahkan, Mama yang di samping Aci' ketika Allah mengambil nyawanya dengan lembut.
Adakah lagi teladan demikian indah digambarkan di hadapan kami? Bahwa bersaudara bukan sekedar karena dilahirkan dari rahmin ibu yang sama. Tapi juga sejiwa dalam pemikiran, dalam keimanan dan dalam ketaatan.
Ya Allah, kami menjadi saksi atas keduanya selalu bertaawun dalam kebaikan dan taqwa padaMu.
Aci' kesayangan kami sudah berpulang. Memeluk bumi dalam makam yang sama dengan Jiddah di TPU Karet Bivak. 27 tahun lalu, Aci' yang kebumikan Jiddah. Kini makam itu digali lagi, untuk menitipkan jasad laki-laki tangguh teladan keluarga. H. Abdul Rasyid bin H. M Junus.
Aku tak tahu kepedihan macam apa yang dirasa oleh Mama. Tapi kutahu, dalam kematangan usianya, Mama mengikhlaskan adik tercinta berpulang.
Semoga kami, anak-anak Mama, berkesempatan membahagiakannya sepanjang usia kami.
Senin, 03 April 2017
Memaknai Keperwiraan seorang Hamzah bin Abdul Mutholib
Jabal Uhud, 11 Maret 2017 |
Masjid Hamzah yang berdiri di Bukit Uhud |
Kerap kali kusampaikan pada Hamzah, anakku, tentang persaudaraan yang kuat antara Rasulullah dengan pamannya ini. Hamzah bin Abdul Mutholib adalah juga saudara sepersusuan Rasulullah. Dialah yang tak segan membela Rasulullah, ketika mendapat kabar keponakannya itu dianiaya kaum Quraisy, padahal saat itu Hamzah belumlah bersyahadat. Demikian besar cinta sang paman pada keponakan yang juga saudara sepersusuan. Demikianlah bersaudara Nak, saling menjaga saling melindungi dan saling menutupi aib. Maka Rasulullah pun menyebut Hamzah sebagai pemimpinnya para Syuhada di hari akhir nanti.
Bukit Uhud ini pun menjadi saksi tentang pelajaran penting akan ketaatan pada pemimpin yang beriman dan taat pada Allah adalah keharusan. Bukit ini pun menjadi saksi tentang pentingnya keluasan ilmu pengetahuan guna membela agama Allah.
Hamzah, kunamai engkau demikian bukanlah tanpa sebab. Namun kuharapkan perjalanan hidup seorang Hamzah bin Abdul Mutholib dapat menginspirasi hidupmu. Dapat menjadi qudwah sebagaimana kau mencontoh perilaku RasulNya...
Nak, berjuanglah... berkorbanlah.... bersungguh-sungguhlah menjadi pejuang dan pembela di jalanNya... sebagaimana yang ditunjukkan seorang paman untuk keponakannya, Hamzah bin Abdul Mutholib kepada Muhammad bin Abdullah.
Minggu, 27 November 2016
Akulah Boru Panggoaran Papa
Ada lagu Batak berjudul Boru Panggoaran. Artinya anak sulung perempuanku.
Entah, maksudnya anak sulung yang perempuan atau anak perempuan yang pertama. Jadi masih memungkinkan ada anak-anak laki yang lebih duluan lahir. Ah sudahlah....
Tapi mencermati lagu Boru Panggoaran ini, sulit untuk gak inget Papa. Ah, iya sih... semua pasti teringat dengan Papa, kalo urusan perbatakan.
Dalam budaya Batak, sepertinya ada tanggung jawab besar disematkan pada diri anak perempuan ya. Gw ngerasa, dulu...abang-abang dibiarkan melesat pesat kemana saja mencari kemuliaan diri. Sementara gw, si anak perempuan... yang kebetulan satu-satunya pula, dari tujuh...iya tujuh....anak Papa, hidup dengan berjuta garis batas yang melingkupi.
Sejak dari kecil, gak ada kisahnya keluar malam-malam. Gak ada ceritanya, nginep di rumah sodara. Iya, nginep di rumah sodara aja gak boleh, apa lagi nginep di rumah temen. Kalaupun nginep2, ya... bareng orang tua. Kalau nginep ke keluarga Papa, ujung-ujungnya ya... nginep di Sindang Barang atau di rumah Nenek. Papa gak pernah lega, membiarkan gw anak perempuannya nginep sendirian di rumah orang lain, bahkan itu rumah adik-adiknya sendiri. Jujurly, keparno-an itu pun menurun pada gw... * du du du du du du du....
Uniknya, di tengah sejumlah aturan yang gak boleh ini gak boleh itu, Papa bukanlah ayah yang selalu mendampingi gw lho. Papa berikan tugas itu ke Mama... jadi kalo gw rada eror dikit, Emak lah yang ditegur Papa.
Dan ketika gw mau nikah, di hari-hari persiapan itu.... Papa mengulang-ulang lagu Anakhonki Do Hamoraon Di Ahu.... Entah kenapa, Papa meluk gw... menangis kencang, minta maaf. Minta maaf atas segala kelemahan Papa, yang menurutnya belum bisa maksimal menjaga merawat mendidik dan membesarkan gw. Jiyaaah.... Papa... bahkan saat gw merasa jadi anak seperti burung di dalam sangkar, Papa merasa belum cukup benar menurutnya, menjaga gw. Gak mungkin gw lupa tangisan Papa dan pelukan Papa saat itu.
Kemudian, di hari-hari terakhir Papa.... Saat Papa ke rumah sakit, akhirnya. Papa minta gw ikut temani ke RS Persahabatan. Pake bilang, Mama Tety (adiknya) suruh kau temani Papa...! Yaa, kan kalo Papa minta aku temani juga, aku ikut kok. Seperti ada rasa takutkah, Pa.... aku menjauhi Papa... gak mau temani waktu sakit Papa...?
Nggak lah...
aku temani Papa kok. Meski lebih banyak Mama yang jaga. Karena aku ada Hamzah yang masih belum setahun kan waktu itu.
Akhirnya, memang anak perempuan itu adalah tempat orang tua mencurahkan perasaannya di hari tua.
Ho na manarihon ahu
Molo matinggang ahu inang
Ho do na manogu-nogu ahu
Bagaimana kabar Papa di sana...? Semoga kuburnya bagaikan taman-taman surga, tempat menanti hari dibangkitkan dan hari perhitungan, sebelum kita semua kembali diperjumpakan di surgaNya yang abadi... Amiin ya Allah
Senin, 06 Juni 2016
Mengingatmu.... Merindumu... di Papua
Menapaki Jaziratul Uryan, Papua.
Sebuah titik besar di muka bumi yang dirahmati Allah dengan kelimpahan kekayaan bumi, kecantikan alamnya. Allahu Akbar, sampai aku di tanah ini.
Pada tepian danau Sentani nan perkasa itu, ingatan pun sampai padamu, ayahku tercinta.
Engkau yang menanamkan rasa cinta pada negeri ini . Yang membentang dari Sabang hingga Merauke.
Memaklumi keterbatasan Papa dalam membawa anak istrinya ke berbagai belahan dunia. Namun dengan segala didikan yang diberikan, sampailah anak-anaknya ke berbagai tanah yang Allah berkahi. Di sana... di setiap sudut itu... selalu hadir wajah Papa...
Papa sayang,
semoga Allah ampuni segala kesalahan Papa...
semoga Allah melapangkan kubur Papa
semoga Allah tinggikan derajat Papa di alam penantian....
Papa sayang.....
aku kangen...
Allahummaghfirlahum warhamhum wa'afihim wa'fu anhum....
Minggu, 29 Desember 2013
di Tepian nan Indah.... Tapanuli
Sampai lagi ke tepian yang indah itu. Tapanuli.....
Ini benar-benar anugerah Allah tak terhingga untuk bangsa Indonesia.
Papa... betapa aku bersyukur dilahirkan sebagai anakmu.... Laki-laki dengan darah Tapanuli di tubuhnya. Papa... dalam setiap sudut alam ini, hentakan ayat-ayatNya menggema dimana-mana. Mengingatkan keagungan kuasaNya. Mengingatkan kesyahduan cintaNya.
Tapi lebih dari itu Pa....
semuanya mengingatkanku, padamu....
Yang mengajarkanku arti mencinta negeri ini
Yang membimbingku mewujudkan rasa cinta ini dengan berbuat sebanyak kumampu
Tepian nan indah... Tapian Nauli
Nama yang kau sematkan padaku... yang juga demikian dekat dengan namamu Pa...
Semoga indah penantianmu di alam kubur
Semoga damai dalam dekapan cinta Rabbmu di sana Pa....
Kamis, 07 November 2013
3 tahun berlalu: Kau Memang Tidak Pernah Pergi
Selalu ada dalam hati, pikiran dan bayanganku.
Pada langkah yang kutapaki yang kian hari kian panjang, selalu menampar nurani.
Mengeja lembar demi lembar kehidupan ini memang jauh lebih indah bersamamu
Karenanya kau pun tidak mengenal kata menyerah hingga saat terakhir waktumu
Engkau memang mencintai keluargamu
Pelukanmu pada anak-anakmu
Sore itu menjadi yang terakhir kalinya
Dengan cinta pun kami damping kau menyebut asmaNya
Dengan cinta kami ikhlaskan kau pergi
Karena kita akan bertemu lagi ya Pa….
Semoga Allah maafkan kesalahanmu
Semoga Allah ampuni segala dosamu
Selalu mencintaimu